Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak
dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang
dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek
sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan keIslaman dirinya, ia
juga dapat meneliti keberIslaman orang lain. Tetapi apa makna Islam
secara psikologis pasti berbeda-beda, karena Islam menimbulkan makna
yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Islam adalah
ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain Islam adalah
pengabdian kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain
lagi Islam adalah akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi Islam
adalah pengorbanan untuk suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati,
atau mencari mati (istisyhad) demi keyakinan.
Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu
bagaimana menerangkan Islam dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena
wilayah ilmu berbeda dengan wilayah Islam. Jangankan ilmu, akal saja
tidak sanggup mengadili Islam. Para ulama sekalipun, meski mereka
meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim
kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu menutup
pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya Allahlah
yang lebih tahu mana yang benar. Islam berhubungan dengan Tuhan, ilmu
berhubungan dengan alam, Islam membersihkan hati, ilmu mencerdaskan
otak, Islam diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.
Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan Islam selalu tarik
menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur,
bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan
menghakimi sebagai sesat, Islam memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya
ilmu memandang perilaku keIslaman sebagai kedunguan. Belakangan
fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di depan keagungan
spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar tetapi antara
keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang tokoh
psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The
Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul,
Boston, Shambala,2000) .
Bagi orang Islam, Islam menyentuh bagian yang terdalam dari dirinya,
dan psikologi membantu dalam penghayatan Islamnya dan membantu memahami
penghayatan orang lain atas Islam yang dianutnya. Secara lahir Islam
menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas; dari sekedar moralitas
atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan, dari ekpressi spiritual yang
sangat individu hingga tindakan kekerasan massal, dari ritus-ritus
ibadah dan kata-kata hikmah yang menyejukkan hati hingga agitasi dan
teriakan jargon-jargon Islam (misalnya takbir) yang membakar massa.
Inilah kesulitan memahami Islam secara ilmah, oleh karena itu hampir
tidak ada definisi Islam yang mencakup semua realitas Islam. Sebagian
besar definisi Islam tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa, kemulian
seorang mukmin itu diukur dari Islamnya, kehormatannya diukur dari
akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul mu’mini dinuhu,
wa muru’atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn Hibban). Ketika
nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga lima kali nabi tetap
menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang baik, dan nabi menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah sekuat mungkin jangan
marah, ( an la taghdlaba in istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h.
405-406).
Jadi pengertian Islam itu sangat kompleks. Psikologi Islam mencoba
menguak bagaimana Islam mempengaruhi perilaku manusia, tetapi
keberIslaman seseorang juga memiliki Islam corak yang diwarnai oleh
berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar Psikologi
mampu menguak keberIslaman seseorang sangat bergantung kepada paradigma
psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab Psikoanalisa) keberIslaman
merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi mazhab Behaviorisme, perilaku
keberIslaman tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki
jiwa. Mazhab Kognitip sudah mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab
Humanisme sudah memandang manusia sebagai makhluk yang mengerti akan
makna hidup yang dengan itu menjadi dekat dengan pandangan Islam.
Dibutuhkan paradigma baru atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami
keberIslaman manusia.
Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar
hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias
culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk menguak
keberIslaman orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi Barat
begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin Khumaini
karena keberIslaman yang khas Syi’ah tidak tercover oleh Psikologi
Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa makna senyum
Amrozi ketika di vonis hukuman mati. KeberIslaman seseorang harus
diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni psikologi yang berbasis
kultur masyarakat yang diteliti. Untuk meneliti keberIslaman orang
Islam juga hanya mungkin jika menggunakan paradigma The Islamic
Indigenous Psychology.
Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya
menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian
tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku,
tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh
karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu
Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberIslaman seorang muslim dengan
pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberIslaman kaum
muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term Qalb,
`aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada dalam al
Qur’an akan lebih memudahkan menangkap realitas keberIslaman seorang
muslim.
Kesulitan memahami realitas Islam itu direspond The Encyclopedia of
Philosophy yang mendaftar komponen-komponen Islam. Menurut Encyclopedia
itu, Islam mempunyai ciri-ciri khas (characteristic features of
religion) sebagai berikut :
- Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
- Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
- Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
- Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
- Perasaan yang khas (takjub, misteri, harap, cemas, merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan gagasan Ketuhanan.
- Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan
- Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan dihubungkan dengan Tuhan
- Kelompok sosial seiman atau seaspirasi.