Bagi
 suami mengalah kepada istri bukan berarti meruntuhkan kewibawaan. Bagi 
istri mengalah kepada suami berarti menjalani fitrah sebagai perempuan.
Menjadi pasangan suami istri yang harmonis dan saling mencinta, bukan berarti terbebas dari pertengkaran. Bukankah perbedaan pendapat bisa saja terjadi dalam berbagai hal? Pertengkaran pun menjadi mungkin terjadi, apalagi pasangan suami istri sama-sama memiliki karakter keras. Bagaimana seharusnya sikap pasangan Muslim saat terjadi pertengkaran? Bagaimana pula sikap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) saat berselisih paham dengan istrinya?
Jalan keluar satu masalah tak akan pernah ditemui jika pasangan menyelesaikannya dengan luapan emosi. Jika suami memaksa menghentikan pertengkaran dengan cara keras, bahkan sampai dengan tindakan fisik, sehingga istri akhirnya dipaksa mengalah, maka yang terjadi sebenarnya adalah dendam dan sakit hati dalam dada istri.
Alangkah baiknya bila kita menyimak kisah Rasulullah SAW ketika menghadapi pertengkaran. Rasulullah SAW tak pernah bertengkar secara emosional dengan istri-istrinya. Saat Rasulullah SAW marah kepada ‘Aisyah, beliau mengatakan, “Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas karena dimarahi oleh Rasulullah SAW.
Kemudian Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala Aisyah mendekat, Rasulullah memeluk Aisyah sambil berkata, “Khumairahku (panggilan Aisyah karena merah pipinya), telah pergi marahku setelah memelukmu.”
Menjadi pihak yang mengalah saat pertengkaran memuncak, memang tidak mudah. Diperlukan tingkat kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosi yang tinggi untuk bisa melakukannya. Pribadi yang bisa melakukannya berarti menunjukkan bahwa dirinya lebih matang secara mental, lebih dewasa, dan lebih cerdas.
Istri Mengalah
Secara psikologis, laki-laki diciptakan lebih egois daripada perempuan. Hal ini wajar, karena berkaitan dengan tugas mereka sebagai pemimpin. Kenyataan ini tak bisa ditentang dan disalahkan, tetapi lebih baik dipahami dan dicarikan cara terbaik menghadapinya.
Salah satu cara yang bagus adalah dengan menumbuhkan kesadaran istri bahwa dalam pertengkaran yang terjadi sesungguhnya istri-lah yang lebih banyak mengalah. Hal ini pun sesuai dengan kondisi psikis perempuan, yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kental jiwa kasih sayang, kelemahlembutan, pengabdian, dan pengorbanannya.
Dalam al-Qur`an Allah telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara-suara kalian melebihi suara Nabi dan janganlah kalian berbicara kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, sehingga amalan-amalan kalian akan terhapus sedangkan kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat [49]: 1-2)
Larangan meninggikan suara melebihi suara Nabi, bisa diartikan larangan bagi istri untuk meninggikan suara melebihi suami. Sebab, suami merupakan imam baginya, sebagaimana Nabi menjadi imam bagi seluruh umat Islam.
Jika dikaitkan secara psikologis, karena laki-laki lebih egois, maka akan fatal akibatnya jika ia didikte oleh istrinya. Jika ini terjadi hingga suami merasa tersinggung, maka inilah yang kerap mengakibatkan banyak suami akhirnya menjalin hubungan dengan perempuan lain, yang notabene lebih bisa diatur dan dikuasai daripada istrinya sendiri.
Justru letak kekuatan istri untuk mematahkan pendapat suami yang ia anggap salah adalah melalui kesabaran dan ketaatannya. Hargai dan ikuti saja dulu apa pendapat suami, jangan menyudutkannya dengan perasaan bersalah. Senantiasa tunda berbicara jika emosi sedang menguasai dada. Carilah waktu lain di mana masing-masing sedang berada dalam keakraban.
Suami Mengalah
Namun dalam satu kondisi pertengkaran, bisa saja istri lebih emosional, sehingga suami lebih baik memilih untuk berada dalam posisi mengalah. Di masa kehidupan Rasulullah SAW, kondisi masyarakat Makkah lebih didominasi laki-laki, sehingga di dalam budaya kehidupannya, lebih mudah jika istri memilih untuk mengalah. Tetapi kondisinya menjadi berbeda dengan kehidupan masyarakat Madinah.
Budaya kehidupan kaum Anshar di Madinah berbeda, karena kaum perempuan lebih dominan daripada laki-laki. Dan ini pun sedikit demi sedikit dicontoh oleh istri-istri para Sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Umar bin Khaththab ketika ada Sahabat datang ingin mengadukan perihal istriny, justru ia mendapati suara istri Umar lebih tinggi dan nyaring dibandingkan dengan suara Umar.
Karena Umar adalah seorang yang bijak, maka ia berkata, “Kehidupan itu harus ditempuh dengan cara yang ma’ruf. Ia istriku. Ia membuatkan untukku roti, mencucikan pakaianku dan melayaniku. Jika aku tidak berlemah lembut padanya, maka kami tidak akan hidup bersama.”
Bukankah Rasulullah SAW pernah berpesan kepada kaum laki-laki untuk senantiasa berbuat lembut kepada perempuan? Ajaran ini bahkan dipesankan secara khusus, berkaitan kondisi psikologis perempuan yang tercipta feminim, sehingga lebih emosional dan perasa. “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau kamu berusaha meluruskannya, maka ia akan patah.” (Riwayat Bukhari)
Cara Rasulullah SAW mengalah pun diperlihatkan saat beliau begitu marah atas tuntutan istri-istri beliau yang sudah berlebihan. Rasulullah SAW memilih untuk menyendiri, menghindari semua istri-istrinya selama sebulan. Hukuman ‘diabaikan’ yang diterima oleh istr-istri Rasulullah SAW ini ternyata jauh lebih efektif daripada hukuman tindakan secara fisik.
Hindari Kekerasan Fisik
Jadi, sama sekali bukan hal tabu jika suami memilih untuk mengalah demi menghentikan pertengkaran emosional. Mengalah di sini tak ada hubungannya dengan kewibawaan. Salah jika para suami merasa malu untuk mengalah dengan dalih takut kehilangan kewibawaan. Suami memang tetap harus tegas dan berwibawa, tetapi tidak sewenang-wenang. Ada saatnya, suami lebih baik mengalah agar tidak memperpanjang masalah.
Suami harus mengalah jika dalam pertengkaran dilihatnya istri penuh dengan emosi. Emosi sang istri bukan karena ingin merasa ‘lebih’ dari suami, namun sebatas dikarenakan ketidakmengertiannya terhadap permasalahan. Jadi, suami mengalah justru karena ia lebih cerdas dan matang daripada istrinya.
Tidak demikian halnya jika istri masih memiliki karakter meremehkan dan merendahkan suami, ingin mendominasi dan menyinggung harga diri suami. Bila kondisinya demikian, maka bukan saatnya suami untuk mengalah, namun saatnya untuk bertindak lebih tegas, dan jika perlu dengan memberi hukuman nusyuz seperti yang diajarkan dalam al-Qur’an, yaitu dengan meninggalkan dan mengabaikan istri selama beberapa waktu.
Kalaupun suami merasa istri harus diperingatkan dengan tegas, itu pun tetap harus dihindarkan cara kekerasan fisik, kecuali sudah menjadi alternatif paling akhir.
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan kewajiban sebagi istri), maka nasihatilah, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”. (An-Nisaa’[4]: 34).
Menjadi pasangan suami istri yang harmonis dan saling mencinta, bukan berarti terbebas dari pertengkaran. Bukankah perbedaan pendapat bisa saja terjadi dalam berbagai hal? Pertengkaran pun menjadi mungkin terjadi, apalagi pasangan suami istri sama-sama memiliki karakter keras. Bagaimana seharusnya sikap pasangan Muslim saat terjadi pertengkaran? Bagaimana pula sikap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) saat berselisih paham dengan istrinya?
Jalan keluar satu masalah tak akan pernah ditemui jika pasangan menyelesaikannya dengan luapan emosi. Jika suami memaksa menghentikan pertengkaran dengan cara keras, bahkan sampai dengan tindakan fisik, sehingga istri akhirnya dipaksa mengalah, maka yang terjadi sebenarnya adalah dendam dan sakit hati dalam dada istri.
Alangkah baiknya bila kita menyimak kisah Rasulullah SAW ketika menghadapi pertengkaran. Rasulullah SAW tak pernah bertengkar secara emosional dengan istri-istrinya. Saat Rasulullah SAW marah kepada ‘Aisyah, beliau mengatakan, “Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas karena dimarahi oleh Rasulullah SAW.
Kemudian Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala Aisyah mendekat, Rasulullah memeluk Aisyah sambil berkata, “Khumairahku (panggilan Aisyah karena merah pipinya), telah pergi marahku setelah memelukmu.”
Menjadi pihak yang mengalah saat pertengkaran memuncak, memang tidak mudah. Diperlukan tingkat kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosi yang tinggi untuk bisa melakukannya. Pribadi yang bisa melakukannya berarti menunjukkan bahwa dirinya lebih matang secara mental, lebih dewasa, dan lebih cerdas.
Istri Mengalah
Secara psikologis, laki-laki diciptakan lebih egois daripada perempuan. Hal ini wajar, karena berkaitan dengan tugas mereka sebagai pemimpin. Kenyataan ini tak bisa ditentang dan disalahkan, tetapi lebih baik dipahami dan dicarikan cara terbaik menghadapinya.
Salah satu cara yang bagus adalah dengan menumbuhkan kesadaran istri bahwa dalam pertengkaran yang terjadi sesungguhnya istri-lah yang lebih banyak mengalah. Hal ini pun sesuai dengan kondisi psikis perempuan, yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kental jiwa kasih sayang, kelemahlembutan, pengabdian, dan pengorbanannya.
Dalam al-Qur`an Allah telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara-suara kalian melebihi suara Nabi dan janganlah kalian berbicara kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, sehingga amalan-amalan kalian akan terhapus sedangkan kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat [49]: 1-2)
Larangan meninggikan suara melebihi suara Nabi, bisa diartikan larangan bagi istri untuk meninggikan suara melebihi suami. Sebab, suami merupakan imam baginya, sebagaimana Nabi menjadi imam bagi seluruh umat Islam.
Jika dikaitkan secara psikologis, karena laki-laki lebih egois, maka akan fatal akibatnya jika ia didikte oleh istrinya. Jika ini terjadi hingga suami merasa tersinggung, maka inilah yang kerap mengakibatkan banyak suami akhirnya menjalin hubungan dengan perempuan lain, yang notabene lebih bisa diatur dan dikuasai daripada istrinya sendiri.
Justru letak kekuatan istri untuk mematahkan pendapat suami yang ia anggap salah adalah melalui kesabaran dan ketaatannya. Hargai dan ikuti saja dulu apa pendapat suami, jangan menyudutkannya dengan perasaan bersalah. Senantiasa tunda berbicara jika emosi sedang menguasai dada. Carilah waktu lain di mana masing-masing sedang berada dalam keakraban.
Suami Mengalah
Namun dalam satu kondisi pertengkaran, bisa saja istri lebih emosional, sehingga suami lebih baik memilih untuk berada dalam posisi mengalah. Di masa kehidupan Rasulullah SAW, kondisi masyarakat Makkah lebih didominasi laki-laki, sehingga di dalam budaya kehidupannya, lebih mudah jika istri memilih untuk mengalah. Tetapi kondisinya menjadi berbeda dengan kehidupan masyarakat Madinah.
Budaya kehidupan kaum Anshar di Madinah berbeda, karena kaum perempuan lebih dominan daripada laki-laki. Dan ini pun sedikit demi sedikit dicontoh oleh istri-istri para Sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Umar bin Khaththab ketika ada Sahabat datang ingin mengadukan perihal istriny, justru ia mendapati suara istri Umar lebih tinggi dan nyaring dibandingkan dengan suara Umar.
Karena Umar adalah seorang yang bijak, maka ia berkata, “Kehidupan itu harus ditempuh dengan cara yang ma’ruf. Ia istriku. Ia membuatkan untukku roti, mencucikan pakaianku dan melayaniku. Jika aku tidak berlemah lembut padanya, maka kami tidak akan hidup bersama.”
Bukankah Rasulullah SAW pernah berpesan kepada kaum laki-laki untuk senantiasa berbuat lembut kepada perempuan? Ajaran ini bahkan dipesankan secara khusus, berkaitan kondisi psikologis perempuan yang tercipta feminim, sehingga lebih emosional dan perasa. “Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Kalau kamu berusaha meluruskannya, maka ia akan patah.” (Riwayat Bukhari)
Cara Rasulullah SAW mengalah pun diperlihatkan saat beliau begitu marah atas tuntutan istri-istri beliau yang sudah berlebihan. Rasulullah SAW memilih untuk menyendiri, menghindari semua istri-istrinya selama sebulan. Hukuman ‘diabaikan’ yang diterima oleh istr-istri Rasulullah SAW ini ternyata jauh lebih efektif daripada hukuman tindakan secara fisik.
Hindari Kekerasan Fisik
Jadi, sama sekali bukan hal tabu jika suami memilih untuk mengalah demi menghentikan pertengkaran emosional. Mengalah di sini tak ada hubungannya dengan kewibawaan. Salah jika para suami merasa malu untuk mengalah dengan dalih takut kehilangan kewibawaan. Suami memang tetap harus tegas dan berwibawa, tetapi tidak sewenang-wenang. Ada saatnya, suami lebih baik mengalah agar tidak memperpanjang masalah.
Suami harus mengalah jika dalam pertengkaran dilihatnya istri penuh dengan emosi. Emosi sang istri bukan karena ingin merasa ‘lebih’ dari suami, namun sebatas dikarenakan ketidakmengertiannya terhadap permasalahan. Jadi, suami mengalah justru karena ia lebih cerdas dan matang daripada istrinya.
Tidak demikian halnya jika istri masih memiliki karakter meremehkan dan merendahkan suami, ingin mendominasi dan menyinggung harga diri suami. Bila kondisinya demikian, maka bukan saatnya suami untuk mengalah, namun saatnya untuk bertindak lebih tegas, dan jika perlu dengan memberi hukuman nusyuz seperti yang diajarkan dalam al-Qur’an, yaitu dengan meninggalkan dan mengabaikan istri selama beberapa waktu.
Kalaupun suami merasa istri harus diperingatkan dengan tegas, itu pun tetap harus dihindarkan cara kekerasan fisik, kecuali sudah menjadi alternatif paling akhir.
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan kewajiban sebagi istri), maka nasihatilah, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”. (An-Nisaa’[4]: 34).
Mengalah bukan berarti kalah
Ada sebuah istilah yang sangat menarik, “you may lose the battle but you win the war”. Kata battle di sini diistilahkan sebagai perang kecil dan war adalah
 sebuah perang yang lebih besar. Inilah yang disebut mengalah untuk 
menang. Kita sering mengartikan bahwa yang namanya mengalah itu ya 
berarti kalah, padahal tidak demikian. Mengalah bukan berarti kalah, namun mengalah untuk merangkul dan selanjutnya untuk menang. Bagaimana bisa? Simak cerita berikut.
.
Dikisahkan, pada zaman Nabi Muhammad SAW,
 saat keluar dari rumah , beliau pasti melewati suatu rumah seorang 
Yahudi yang punya kebiasaan unik, yaitu meludahi Rasulullah dari depan 
rumahnya. Ini berlangsung setiap hari. YES, EVERYDAY! Lalu apa 
reaksi Nabi Muhammad? Beliau hanya tersenyum kepada orang yang 
meludahnya, membersihkan ludah yang menempel di badan atau bajunya, dan 
pergi meninggalkan yahudi ini.
.
Sebelum saya lanjutkan ceritanya, 
coba bayangkan bagaimana kalau kita yang ada di posisi Rasulullah yang 
setiap hari diludahi? Sudah bisa dibayangkan, mungkin setiap pagi akan 
ada pertandingan tinju tanpa wasit di depan rumah Yahudi itu. Belum lagi
 tambahan kata-kata dari Planet Mars seperti “kucing lo!” atau “kelinci lo!” dan teman-temannya pasti keluar semua di situ.
.
Sampai pada suatu pagi ketika Nabi 
Muhammad SAW lewat di depan rumah sang Yahudi, beliau heran karena tidak
 ada lagi ludah terbang. Satu hari lewat, dua hari lewat, sampai di hari
 ketiga tetap tidak ada ludah dari sang Yahudi. Rasulullah pun bertanya 
kepada para sahabat pergi kemana si Yahudi ini, dan beliau mendapat 
laporan bahwa ternyata dia sedang sakit. Reaksi spontan beliau saat 
mendengar Yahudi ini sakit adalah langsung mendatangi ke rumahnya. 
Sesampainya, betapa kagetnya sang empunya rumah bahwa orang yang selama 
ini diludahinya setiap hari ternyata adalah orang pertama yang 
menjenguknya di saat dia sakit.
.
Awalnya sang Yahudi ketakutan bahwa 
 Rasulullah akan membalas meludahi dia dikarenakan dirinya yang sedang 
sakit dan tidak berdaya, bahkan akan memperlakukan lebih parah dari 
sekedar meludah. Tapi apa yang disangkakannya 100% salah. Nabi Muhammad 
SAW datang untuk menjenguk, bahkan kemudian beliau mendoakan sang Yahudi
 agar sembuh dari penyakitnya. Doa Rasulullah itu tanpa hijab 
(penghalang) dan tidak pernah tertolak. Maka tidak lama kemudian,  
sembuhlah sang Yahudi ini dari sakitnya. Lalu apa yang terjadi 
selanjutnya? Sang Yahudi memeluk erat Nabi Muhammad SAW dan menyatakan 
ingin masuk Islam. Dia kemudian mengucapkan Syahadat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan untuk memeluk agama Islam. Asyhadu allaa ilaa ha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah (saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).
.
Luar biasa! Inilah salah satu contoh yang
 sangat nyata bagaimana mengalah itu bukan untuk kalah, melainkan 
kemenangan yang akan didapat! Dalam cerita ini, Nabi Muhammad boleh saja
 kalah dalam battle (pertempuran kecil), namun beliau sungguh menang dalam war (perang yang lebih besar). Apa kekalahan battle dari
 Rasulullah? Beliau setiap hari diludahi oleh Yahudi tersebut. Kalau mau
 dilihat secara kasat mata ini kan kalah, dalam artian Rasulullah 
mendapat ludah sementara sang Yahudi tidak. Rasululah menahan diri untuk
 tidak membalas karena beliau tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar 
yang harus dia perjuangkan, yaitu tugas utamanya berada di muka bumi 
ini, untuk memperbaiki akhlak manusia dan menyiarkan syiar Islam 
seluas-luasnya sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Lalu apa kemenangan war Rasulullah? Jelas sekali, kemenangan Rasulullah adalah pada akhirnya Sang Yahudi mengucapkan syahadat dan memeluk agama Islam.
 Inilah kemenangan besar Nabi Muhammad SAW yang berhasil menjalankan 
misinya di muka bumi yang berhasil menyiarkan syiar Islam dan membuat 
sang Yahudi memeluk agama Islam atas kesadaran sendiri.
 .
Dalam menyikapi cerita ini, beberapa orang termasuk saya dan anda mungkin akan bilang, “Ya
 jelas aja bisa sabar diludahin orang, kan beliau itu Nabi! Kalau kita 
orang-orang biasa gini mana bisa tahan kalo diludahin tapi ga bales?!” Ada benarnya. Tapi kan kalau ibarat kualitas parfum atau tas, setelah yang namanya original kan
 ada yang namanya KW 1, KW 2 sampai KW 10. Ini juga sama! Kalau kita 
tidak bisa meneladani Nabi Muhammad 100%, alangkah baiknya jika kita 
berusaha meneladani kemuliaannya sedikit demi sedikit. Karena sudah 
jelas bahwa Rasulullah-lah suri tauladan yang patut kita tiru.
 .
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)
 .
Dalam hidup kitapun demikian, banyak sekali kejadian yang berhubungan dengan hal ini. “You may lose the battle but win the war”
 itu bisa terjadi dimana saja. Ilustrasinya misalkan di suatu toko 
handphone. Ada penjual, anggaplah namanya Bapak A dan pembeli namanya 
Ibu B. Target dari Bapak A sebenernya kan cuma satu, yaitu Ibu B membeli
 handphone atau accessories lainnya di toko dia. Atau mungkin bisa 
ditambahkan long-term target nya adalah Bu B akan kembali lagi 
ke tokonya. Untuk sampai kepada target ini kan tentunya harus ada usaha 
donk? Hukum alamnya mengatakan bahwa mustahil orang mau mendapatkan 
sesuatu tapi dia tidak berusaha dan mengeluarkan keringat. Istilahnya No Pain No Gain!
 .
Pak A untuk mencapai tujuannya ini terkadang harus mengalami battle-battle kecil. Pak A tentunya mengharapkan Bu B ini orang yang easy going,
 ga banyak nanya, dan langsung beli handphone. Enak kan kalo gitu? Iya 
enak kalau sesuai perkiraan. Tapi kenyataan tidak seindah perkiraan. 
Ternyata Bu B ini sangat teliti, banyak nanya, ngoceh terus, bahkan 
untuk hal-hal yang udah dijelasin berulang kali dia tetep balik ke 
pertanyaan yang sama. Respon dari Pak A lah yang menentukan apakah dia 
akan menang dalam war atau kalah.
 .
Kalau Pak A mau ngikutin kata hati, lebih
 baik dia marahin aja Bu B karena banyak nanya tapi ga beli juga. Bahkan
 kalau perlu, diusir sekalian. Kalau ini yang terjadi, berarti dalam battle
 kecil Pak A menang, tapi sebetulnya dia kalah dalam perang yang lebih 
besar. Bu B yang sebetulnya sudah akan mengeluarkan dompet untuk beli 
handphone, akhirnya kesal dan pindah ke toko sebelah yang ternyata punya
 karyawan yang lebih sabar dan siap menjelaskan setengah jam non-stop kepada Bu B. Akhirnya Bu B luluh dan membeli handphone di toko sebelah dan bukan tokonya Pak A.
 .
Jadi sebaiknya yang harus dilakukan kalau menghadapi pembeli seperti Bu B yang ngoceh terus dan banyak nanya, yaudah telen aja ocehannya mentah-mentah selama masih dalam batas wajar. Tapi dalam hati tetep bilang, “Silahkan lo ngoceh-ngoceh sekarang, tapi gw bakal buat lo beli handphone gw!” Kalau akhirnya Ibu B beli, berarti Pak A menang war karena memang tujuan penjual adalah menjual barang dagangan.
.
Hal ini berlaku untuk semua aspek 
kehidupan, baik itu untuk karir, persahabatan sampai percintaan hehe.. 
Contoh lainnya adalah hal yang sangat lumrah jika tidak semua 
orang menyukai kita. Siapapun dia, dari mulai tukang sapu sampai 
menteri, pasti saja ada orang-orang yang tidak suka. Entah apapun itu 
alasannya. Tidak akan ada gunanya untuk meyakinkan orang yang tidak suka
 kepada kita agar menjadi suka, karena memang hanya akan menghabiskan 
waktu saja dan mungkin kita akan terlihat sedikit “gila”. Tapi saran 
saya cobalah untuk tetap berbuat baik terhadap orang yang tidak suka 
kepada kita. Berbuat baik bukan berarti kita  memohon-mohon dan meminta 
dia supaya jangan membenci kita. Tapi lebih kepada kita menolong dia 
kalau ada perlu dan lain lain. Pada akhirnya, biasanya, orang yang 
membenci kita bisa jadi menjadi teman. Jadi janganlah terlalu membenci 
musuhmu karena bisa menjadi orang yang paling engkau cintai. Ini adalah 
cara bagaimana kita bisa memenangi sebuah war meskipun kalah dalam battle.
 .
Selain itu, berlaku baik terhadap sesama 
juga merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam 
Al-Qur’an (QS. An-Nahl : 90) Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berlaku baik.”
 .
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan 
bahwa terkadang untuk mencapai suatu tujuan, kita tidak harus selalu 
berjalan maju ke depan. Ada kalanya kita berhenti sejenak untuk melihat 
situasi, ada kalanya kita bergeser ke kanan sebentar dan ada kalanya 
kita mundur ke belakang untuk sementara waktu sebelum melangkah maju ke 
depan lagi. Inilah yang saya sebut strategi “you may lose the battle but win the war”, yaitu keadaan dimana kita harus mengalah sementara waktu untuk suatu kemenangan yang lebih besar. Prove it!
Tidak selamanya mengalah itu rendah dan 
hina, di satu sisi mengalah itu mempunyai nilai positif yang tidak bisa 
dipungkiri. Bahkan nasehat orang tua kita dahulu memberikan penekanan 
kepada orang yang lebih tua dan dewasa untuk mengalah dari adiknya yang 
lebih kecil ketika terjadi pertengkaran atau memperebutkan suatu 
makanan. Semua itu bukan menunjukkan pilih kasih dari orang tua, tetapi 
memberikan pelajaran bagi kita bahwa sudah sepatutnya orang yang lebih 
dewasa untuk menyayangi yang lebih muda dan agar kita bisa mengontrol 
emosi, dihadapan seorang yang belum bisa mengerti emosi.
  Memang adakalanya kita dituntut untuk 
menang, tapi apa arti kemenangan jika dipihak lain harus dirugikan dan 
merasa sedih, hati kecil kita tak akan menerima keadaan seperti ini, dia
 akan menolak.
 Adalah satu kemenangan yang sangat 
gemilang, jika kita menang dan dipihak lainpun merasa tidak dirugikan 
bahkan merasa bahagia dengan kemenangan yang kita raih atau setidaknya 
tidak merasa terusik dengan kemenangan kita.
 Sebagaimana yang diceritakan didalam 
kitab siroh Ibnu Hisyam ; Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, para 
sahabat tidak menerima keputusan yang diambil  oleh Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka merasa kecewa dan terpukul dengan 
hasil yang dicapai, sebab diatas kertas kaum muslimin mendapat kekalahan
 yang telak. Sampai-sampai sahabat Ali tidak mau menuruti perintah 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk menghapus kalimat 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ” dari tek perjanjian, dan 
akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  sendiri yang mengambil
 tek tersebut dan menghapusnya kemudian menulis kata-kata yang dinginkan
 oleh pihak Quraisy.
 Bahkan Al Faruq Umar Ibnu khotob sangat
 marah sekali, dan menghampiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 
 sambil menanyakan tentang keputusan Beliau:
“bukankah engkau Nabi Allah yang sebenarnya ?”
“Betul” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
“Bukankah kita berada diatas kebenaran sedang musuh kita berada diatas kebathilan?”
“ betul” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
“tapi kenapa kita merendahkan Din kita “
“ sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah
 shallallahu ‘alaihi wasallam , aku tidak berbuat maksiyat kepadaNya dan
 Dia adalah penolongku” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
“Bukankah engkau memberitakan kepada kita, bahwa kita akan  mengunjungi Al bait        ( Ka’bah ) dan melaksanakan thowaf ?”
“Betul, tetapi apakah aku kabarkan kepadamu bahwa kita akan mengunjungi Ka’bah tahun ini dan berthawaf”
“Tidak” jawabku
“Engkau pasti akan mengunjunginya dan berthawaf mengelilinginya”.
Umar tidak berhenti disitu, dia tidak 
puas dengan jawaban yang didapat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi 
wasallam . Bahkan dia mengulangi pertanyaannya itu kepada Abu Bakar 
sebagaimana ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . 
Abu Bakar menjawab : “Wahai Umar berpegang teguhlah untuk menolongnya 
meskipun bagaimana kondisinya, sesungguhnya aku bersaksi bahwasanya dia 
adalah utusan Allah”
“akupun  bersaksi” akhirnya Umarpun berucap.
 Disini Umar mendatangi Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam  dan menanyakan perihal keputusan beliau, 
adalah untuk mengetahui dan mendapatkan hikmah dari kesepakatan beliau 
terhadap syarat-syarat perjanjian, sedang dia menginginkan orang-orang 
musyrik menjadi terhina dan rendah. Maka semua yang keluar dari dia 
dimaafkan, bahkan dia mendapat pahala karena berijtihad didalam masalah 
ini
 Setelah kesepakatan terjadi, tidak 
sedikit keuntungan dan kemenangan yang diperoleh kaum muslimin. Didalam 
kejadian ini turun ayat Allah yang menerangkan kemenangan ditangan kaum 
muslimin:
“ sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenenangan yang nyata” ( QS. Al Fath : 1 )
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengekspresikan kegembiraannya atas turun ayat ini dengan ungkapannya:
“ telah diturunkan kepadaku tadi malam, satu surat yang lebih aku sukai ketimbang terbitnya matahari dari arah timur”
( HR. Bukhori )
 Disamping itu orang-orang quraisy 
mengakui keberadaan kaum muslimin dan tidak meremehkan mereka lagi. Kaum
 muslimin bisa memfokuskan penyerangan kepada kaum Yahudi Khoibar, dapat
 menyebarkan Islam keseluruh pelosok jazirah arab bahkan kepada 
kekuasaan dan imperium Romawi dan persi.
 Salah satu bukti kemenangan kaum 
muslimin adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Az Zuhri; bahwa ketika
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  keluar menuju Hudaibah dengan 
jumlah kaum muslimin hanya seribu empat ratus orang, kemudian beliau 
keluar dihari penyerangan ke Mekkah setelah berlalu dua tahun dengan 
jumlah kaum muslimin sepuluh ribu orang. Satu bilangan yang sangat 
meningkat tajam, karena dalam waktu yang singkat jumlah kaum muslimin 
membludak.
- See more at: http://kaifahal.com/mengalah-untuk-menang/#sthash.G58zEVum.dpuf
Tidak selamanya mengalah itu rendah dan 
hina, di satu sisi mengalah itu mempunyai nilai positif yang tidak bisa 
dipungkiri. Bahkan nasehat orang tua kita dahulu memberikan penekanan 
kepada orang yang lebih tua dan dewasa untuk mengalah dari adiknya yang 
lebih kecil ketika terjadi pertengkaran atau memperebutkan suatu 
makanan. Semua itu bukan menunjukkan pilih kasih dari orang tua, tetapi 
memberikan pelajaran bagi kita bahwa sudah sepatutnya orang yang lebih 
dewasa untuk menyayangi yang lebih muda dan agar kita bisa mengontrol 
emosi, dihadapan seorang yang belum bisa mengerti emosi.
  Memang adakalanya kita dituntut untuk 
menang, tapi apa arti kemenangan jika dipihak lain harus dirugikan dan 
merasa sedih, hati kecil kita tak akan menerima keadaan seperti ini, dia
 akan menolak.
 Adalah satu kemenangan yang sangat 
gemilang, jika kita menang dan dipihak lainpun merasa tidak dirugikan 
bahkan merasa bahagia dengan kemenangan yang kita raih atau setidaknya 
tidak merasa terusik dengan kemenangan kita.
 Sebagaimana yang diceritakan didalam 
kitab siroh Ibnu Hisyam ; Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, para 
sahabat tidak menerima keputusan yang diambil  oleh Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam , mereka merasa kecewa dan terpukul dengan 
hasil yang dicapai, sebab diatas kertas kaum muslimin mendapat kekalahan
 yang telak. Sampai-sampai sahabat Ali tidak mau menuruti perintah 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk menghapus kalimat 
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ” dari tek perjanjian, dan 
akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  sendiri yang mengambil
 tek tersebut dan menghapusnya kemudian menulis kata-kata yang dinginkan
 oleh pihak Quraisy.
 Bahkan Al Faruq Umar Ibnu khotob sangat
 marah sekali, dan menghampiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam 
 sambil menanyakan tentang keputusan Beliau:
“bukankah engkau Nabi Allah yang sebenarnya ?”
“Betul” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
“Bukankah kita berada diatas kebenaran sedang musuh kita berada diatas kebathilan?”
“ betul” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
“tapi kenapa kita merendahkan Din kita “
“ sesungguhnya aku ini adalah Rasulullah
 shallallahu ‘alaihi wasallam , aku tidak berbuat maksiyat kepadaNya dan
 Dia adalah penolongku” jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
“Bukankah engkau memberitakan kepada kita, bahwa kita akan  mengunjungi Al bait        ( Ka’bah ) dan melaksanakan thowaf ?”
“Betul, tetapi apakah aku kabarkan kepadamu bahwa kita akan mengunjungi Ka’bah tahun ini dan berthawaf”
“Tidak” jawabku
“Engkau pasti akan mengunjunginya dan berthawaf mengelilinginya”.
Umar tidak berhenti disitu, dia tidak 
puas dengan jawaban yang didapat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi 
wasallam . Bahkan dia mengulangi pertanyaannya itu kepada Abu Bakar 
sebagaimana ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . 
Abu Bakar menjawab : “Wahai Umar berpegang teguhlah untuk menolongnya 
meskipun bagaimana kondisinya, sesungguhnya aku bersaksi bahwasanya dia 
adalah utusan Allah”
“akupun  bersaksi” akhirnya Umarpun berucap.
 Disini Umar mendatangi Rasulullah 
shallallahu ‘alaihi wasallam  dan menanyakan perihal keputusan beliau, 
adalah untuk mengetahui dan mendapatkan hikmah dari kesepakatan beliau 
terhadap syarat-syarat perjanjian, sedang dia menginginkan orang-orang 
musyrik menjadi terhina dan rendah. Maka semua yang keluar dari dia 
dimaafkan, bahkan dia mendapat pahala karena berijtihad didalam masalah 
ini
 Setelah kesepakatan terjadi, tidak 
sedikit keuntungan dan kemenangan yang diperoleh kaum muslimin. Didalam 
kejadian ini turun ayat Allah yang menerangkan kemenangan ditangan kaum 
muslimin:
“ sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenenangan yang nyata” ( QS. Al Fath : 1 )
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  mengekspresikan kegembiraannya atas turun ayat ini dengan ungkapannya:
“ telah diturunkan kepadaku tadi malam, satu surat yang lebih aku sukai ketimbang terbitnya matahari dari arah timur”
( HR. Bukhori )
 Disamping itu orang-orang quraisy 
mengakui keberadaan kaum muslimin dan tidak meremehkan mereka lagi. Kaum
 muslimin bisa memfokuskan penyerangan kepada kaum Yahudi Khoibar, dapat
 menyebarkan Islam keseluruh pelosok jazirah arab bahkan kepada 
kekuasaan dan imperium Romawi dan persi.
 Salah satu bukti kemenangan kaum 
muslimin adalah sebagaimana yang diceritakan oleh Az Zuhri; bahwa ketika
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  keluar menuju Hudaibah dengan 
jumlah kaum muslimin hanya seribu empat ratus orang, kemudian beliau 
keluar dihari penyerangan ke Mekkah setelah berlalu dua tahun dengan 
jumlah kaum muslimin sepuluh ribu orang. Satu bilangan yang sangat 
meningkat tajam, karena dalam waktu yang singkat jumlah kaum muslimin 
membludak.
- See more at: http://kaifahal.com/mengalah-untuk-menang/#sthash.G58zEVum.dpuf 












 
 Postingan
Postingan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 




