Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan
bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya
pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di
sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita
untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah
kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat,
“Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna
maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir
sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita
pengungkap penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan
satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi
kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”.
Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin
istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu
alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling
memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.
Payahnya,
semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin
menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin
rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di
mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak
yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih
erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam
keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk
membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua
kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.
Tapi benarkah perubahan
zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah
tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan
norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang
tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut
telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan
berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang
ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah
perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya
memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras
masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap
sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah
menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi
bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan
pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini
telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan
masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita
umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya
nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah
berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident)
telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu.
Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang
banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan
bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak
kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa
anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya
sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus
mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan
sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan
daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang
berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku,
akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin
sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan.
Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana
rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga,
yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh
proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan
pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di
depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar
kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis
yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif
secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang
dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu
ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat
di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan,
terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru
di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali
menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak.
Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi
perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus
mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang
bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka
seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang
membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat
memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara
yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi
manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika
keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang
tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan
untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan
terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar
anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu
dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga
dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada
gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di
antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga...