Aku
ingin memberikan contohnya: Ketika panci dan wajan saling bertabrakan maka akan
timbul suara bising, begitu juga ketika seseorang bertemu dengan orang lain
terkadang ada perselisihan. Seorang yang baik adalah dia yang dapat
mengendalikan dirinya ketika marah. Lepas kendali ketika marah bukanlah sebuah
sifat yang bagus.
Contohnya
seperti ini: dapat mengendarai mobil dengan kencang bukanlah suatu
keterampilan, tapi kalau dapat mengendalikan mobilnya, itulah yang disebut
keterampilan. Jika kau menyuruh seorang anak kecil untuk mengemudi, bahkan anak
itu dapat tancap gas dan mengemudi dengan kencang. Jadi mengebut bukanlah suatu
keterampilan, tapi ngebut sembari dapat mengendalikan mobilnya barulah sebuah
keterampilan.
Seorang
tamu datang ke rumah Husain R.A. Jadi dia meminta pembantunya untuk membawakan
sebuah sup untuk si tamu. Kalau di zaman sekarang, kita menyuguhkan tamu dengan
secangkir teh/kopi, tapi pada masa itu mereka menyuguhkan semangkuk sup panas. Jadi
pembantu tersebut menyiapkan dan membawakan sup hangat itu, dan ketika dia
sedang membawanya dan memasuki ruang tamu, pandangannya teralihkan dan dia
terpeleset, dan dia menumpahkan sup panas itu ke tubuh Husain R.A.
Bayangkan
jika semangkuk air mendidih tersiram kepadamu, betapa panasnya kulitmu. Jadi
Husain R.A. menjadi sangat marah karena kecerobohan pembantunya. Pembantunya
tahu bahwa Husain adalah orang saleh, bahwa dia begitu menghargai ayat
Al-Qur’an, jadi pembantunya berkata "dan orang-orang yang menahan
amarahnya" (Ali Imran:134). Husain menjawab “Oke, aku sudah menelan
kemarahanku.” Pembantunya berkata “dan mema'afkan (kesalahan) orang.” (Ali
Imran:134) Husain berkata “Baiklah, aku sudah memaafkanmu.” Pembantunya berkata
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran:134) Husain
R.A. berkata “Pergilah, karena aku sudah membebaskanmu atas nama Allah.”
Mereka
begitu patuh kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Nabi Muhammad S.A.W. bersabda “di
dunia ini, siapapun yang cepat memaafkan kesalahan orang lain, maka pada hari
kiamat Allah akan cepat memaafkan kesalahannya.
Rasulullah
S.A.W. juga bersabda “Jika seseorang meminta ampun dari orang lain, tapi dia
tidak mau memaafkannya, maka orang yang tidak mau memaafkan itu tidak
seharusnya datang ke telaga Kautsar ku.” Dengan kata lain, Nabi Muhammad S.A.W.
bersabda bahwa dia tidak ingin melihat wajahnya.
Situasi
yang terjadi pada zaman sekarang, seorang suami tidak mau memaafkan istrinya
dan begitu pula sebaliknya. Allahu Akbar Kabirau! Pikirkanlah barang sejenak, betapa
kondisi hati kita telah berubah makin buruk. Kita tidak mau memaafkan sesama!
Ada
seorang tua yang pergi berhaji. Dia mempunyai sebuah dompet yang di dalamnya
terdapat uang dan barang berharga lainnya. Salah seorang copet menjambret
dompetnya dan melarikan diri. Merupakan kehendak Allah, seseorang yang mencuri
dompetnya, setelah mencapai jarak tertentu, pandangannya menjadi buram. Terkadang
suka seperti itu kan? Ketika kau bangun terlalu cepat maka kau merasa buta
untuk sesaat. Hal yang sama terjadi pada orang ini, dia tidak dapat melihat. Pemuda
ini mulai menangis dan orang-orang mulai bertanya-tanya mengapa dia menangis. Dia
menjelaskan “Aku mencuri dompet seorang kakek dan tampaknya dia telah
mengutukku, dan sebagai akibatnya Allah telah mengambil penglihatanku.” Orang-orang
bertanya padanya perihal keberadaan orang tua tersebut. Dia berkata “Di dekat
tukang cukur rambut A.”
Jadi
ketika orang-orang menemui si orangtua, mereka memintanya untuk memaafkan si
pemuda pencopet tadi, dan pencopet itu memintanya untuk memaafkannya. Orangtua
itu berkata “Aku telah memaafkanmu dengan segera.”
Orang-orang
berkata “Dia telah mencuri dompetmu, tapi kau langsung memaafkannya?” Dia
berkata “Ya, suatu pikiran terlintas di benakku sehingga aku langsung
memaafkannya.” Orang-orang bertanya “Pikiran apa yang terlintas di benakmu?” Orangtua
itu berkata “Ketika dia mengambil barangku dan melarikan diri, suatu pikiran
terlintas di benakku: Ketika hari kiamat tiba ketika aku mempersembahkan
perkaraku di hadapan Allah, maka anak muda ini akan dihakimi, dan waktu yang
diperlukan untuk mengambil keputusan...
Rasulullah
S.A.W. bersabda “Aku tidak akan masuk surga sampai penghakiman umatku telah
selesai.” Jadi aku berpikri bahwa waktu yang diperlukan untuk memutuskan
perkaraku akan menghambat Rasulullah S.A.W. dari memasuki surga. Jadi aku
memaafkannya! Sehinnga tidak ada perkara yang harus disidang dan Rasulullah
S.A.W. tidak perlu terhambat karenaku.
Jika
ini yang kita pikirkan, tidakkah kita mau memaafkan orang-orang? Karena dengan
kita memaafkan, maka Rasulullah S.A.W. tidak perlu terhambat dari memasuki
surga.
Di
rumah, kita tahu bahwa putri, putra, istri, dan saudara-saudara kita dapat
membuat kesalahan dan mengucapkan sesuatu tanpa sengaja. Daripada memendam
kebencian, lebih baik kita membiasakan diri memaafkan mereka karena Allah.
Inilah
kebiasaan Rasulullah S.A.W. Semoga Allah memberikan kita kemampuan untuk
mengamalkan Sunnah ini, dan karenanya semoga Allah memaafkan kekurangan kita di
hari kiamat.
Sesungguhnya
kawan-kawan, kita sangat membutuhkan hal ini, orang itu mungkin hanya berbuat 1
dosa, sementara siapa tahu kita telah berbuat dosa lebih banyak daripadanya. Jika
dengan memaafkan satu kesalahan, Allah mau mengampuni seluruh dosa kita, maka
ini adalah kesempatan yang bagus.
Itulah
mengapa, ketika seseorang memohon maaf, atau meskipun dia tidak memohon maaf,
maafkanlah dia untuk menyenangkan Allah.