Menjadi bahagia, bukanlah karena sikap orang lain yang
menyenangkan atau menyakiti kita. Tetapi menjadi bahagia adalah karena pilihan
kita sendiri untuk menjadi bahagia.
Menjadi bahagia adalah tentang bagaimana kita mensetting
hati, pikiran dan laku dan keseharian kita, dan semua itu adalah terletak
diatas keinginan dan kemauan kita sendiri.
Ketika definisi tentang bahagia kita letakkan dengan cara
banyak menguliti orang lain dan meminta mereka bersikap begini dan begitu, yang
tentunya mengharuskan mereka mengikuti apa yang kita mau, saat itulah
sebenarnya kekurangan adalah menjadi milik kita dan bukan mereka.
Betapa tidak, dalam menyusun rencana pembahagiaan diri kita
tersebut, maka harus dihadirkan adanya sikap memaksa, tak jarang malah berakhir
dengan konflik. Padahal dengan bersabar, hal itulah yang bukan hanya menjadikan
kita lebih bahagia, tapi sekaligus memberi peluang kita untuk lebih mulia.
Lalu, apakah ada kebahagiaan dalam
kesabaran? Tentu saja ada. Seseorang yang beriman
kepada Allah, akan selalu bahagia dalam sabarnya. Hal ini wajar, karena
pikirannya akan tertuju kepada nikmat pahala dan kebahagiaan akherat yang pasti
Allah berikan sebagai balasannya. Dan sekali lagi, hal ini hanya berlaku hanya
untuk para hati yang benar- benar beriman kepada Allah.
Selanjutnya, dalam kesabaranpun juga terkandung kebahagiaan
yang lain. Seperti kata pepatah, bahkan batupun bisa akan berlubang jika
ditetesi air secara terus menerus. Garis hidup yang memang tidak mudah di lalui
pada awalnya dengan sikap yang bernama sabar, namun di episode akhir,
InsyaAllah kita akan berhasil mengubah seseorang, yang tanpa sadar justru akan
mencontoh banyak hal baik yang telah kita lakukan, hanya karena kita mampu
bersabar. Dan adalah sebuah kepastian bagi siapapun yang akhirnya menemui
dirinya di masa depan menjadi pribadi yang disegani dihadapan kawan maupun
lawan.
Selain itu, ada sebagian orang yang mampu untuk bahagia
dengan mensyaratkan ini dan itu kepada dirinya sendiri dan orang lain, dimana
semua itu seakan melampaui batas kewajaran. Atau dalam kata lain, tiada rasa
syukur dalam kamus hidupnya. Dan apakah sebenarnya dia bahagia ketiika telah
terpenuhi segala yang dia inginkan ?. Mungkin tidak. Karena yang ada, bahkan
sebenarnya dia menjadikan hidup yang sekali kali nya ini, menjadi budak dari
ambisinya yang tiada habis dan dan tidak ada ujungnya.
Nafsunya merongrong terus tanpa batas dan waktu. Sungguh,
sebenarnya dia adalah orang yang paling sengsara, banyak tertipu dan paling
pantas dikasihani. Dan tidak mustahil, justru bahkan dalam akhir kisah
hidupnya, dia belum sempat menikmati kebahagiaan yang hakiki, yaitu berada
dekat Allah subhanahu wataala, karena jatah hidupnya sudah habis untuk
keperluan nafsunya sendiri. Padahal
ketika maut telah merenggutnyapun, dunia yang selama ini di belanya, tidak
serta merta akan mati dan mengikutinya, kecuali meninggalkannya dan hanya
mengingatnya dalam nama "kenangan".