Semoga kita termasuk ke dalam
orang-orang yang menjunjung tinggi ilmu dan tidak merasa puas dengan apa
yang sudah didapatkan. Semoga kita tidak termasuk orang yang memiliki
sikap sok tahu dan menggampangkan ilmu. Karena seperti yang sama-sama
kita ketahui, saat ini betapa seringnya kita melihat dan mendapatkan
seseorang yang masih “hijau” dan belum ada apa-apanya nekad melakukan
pergumulan di bidang ilmu. Padahal, ia sama sekali belum siap dan belum
matang, ditambah juga dengan ketidak jelasannya dalam apa yang ada di
pemikiran dan pemahamannya.
Hidup
harus berjalan dengan mekanisme yang pasti. Karena-nya, pengetahuan
yang setengah-setengah, sulit bisa dipakai untuk landasan sebuah tatanan
hidup, Ia juga tidak akan banyak menyelasaikan masalah, justru bisa
menjadi sumber masalah. Tetapi lebih buruk dari tidak tahu adalah
bersikap ‘sok tahu’ yang bahasa gaulnya disebut sotoy. Karena sikap ’sok
tahu’ hampir selalu menjadi sumber bencana.
Dalam
pengertian seperti ini, kita memahami, mengapa Rasulullah, secara lebih
tegas, dalam kesempatan lain, mengatakan, “Jika suatu urusan diserahkan
kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”(HR.Bukhari)
Hidup
ini harus ditata dengan keahlian. Sedang induk keahlian adalah
pengetahuan. Orang-orang yang tidak tahu dalam suatu urusan, tidak boleh
merasa tahu. Meski pada saat yang sama ia juga harus terus meningkatkan
pengetahuannya.
Bersikap
’sok tahu’, secara moral mengandung unsur ‘pengkhianatan’. Ini mungkin
terlalu kejam. Tapi begitulah kenyataannya. Pengkhianatan terhadap diri
sendiri. Pengkhianatan terhadap kapasitas yang sesungguhnya kita miliki.
Juga pengkhianatan kepada pada korban yang meyakini bahwa kita tahu.
Akan ada manipulasi yang mengerikan dari segala sikap ’sok tahu’ dari
siapa saja, padahal dirinya tidak-mengerti. Karenanya sangat beralasan
mengapa Rasulullah begitu marah kepada orang-orang itu. Kecaman
Rasulullah, juga ungkapannya, ‘Semoga Allah membinasakan mereka’ adalah
refleksi mendalam betapa seriusnya permasalahan yang bisa ditimbulkan
oleh orang-orang yang ’sok tahu’. Seserius penjelasannya tentang urusan
yang akan hancur bila ditangani bukan oleh ahlinya.
Ini
harus menjadi perhatian siapapun. Prinsip ini juga berlaku dalam segala
sisi kehidupan dan dalam segala disiplin pengetahuan. Setiap
kecerobohan akan melahirkan bencana. Dalam bidang syari’at Islam,
orang-orang yang ’sok tahu’ dan dengan mudah mengumbar fatwa halal
haram, bisa menyebabkan terjerumusnya orang lain kepada kesalahan
ideologis dan hukum yang sangat fatal.
Karenannya,
para ulama salaf mencela sebagian ahli ilmu di zamannya yang
tergesa-gesa menetapkan fatwa tanpa pertimbangan yang matang dan
meyakinkan. "Sesungguhnya seorang di antara kalian memberikan fatwa
tentang suatu masalah yang andaikata disampaikan kepada Umar tentu ia
mengumpulkan ahli Badar untuk itu." Sebagian yang lain mengatakan,
"Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah orang yang
paling berani masuk neraka."
Pada
jaman yang terus berkembang, 3 penyakit merasa tahu punya tempat
salurannya yang luar biasa. Seperti dunia pengamat dan dunia politisi,
misalnya. Karena untuk dua profesi ini, pengetahuan, dalam batas
tertentu, cukup diwadahi dengan ucapan dan retorika bicara.
Padahal
hidup adalah dunia nyata, bukan dunia omongan yang berbusa-busa.
Disinilah mengapa, orang yang pandai bicara belum tentu pandai bekerja.
Karena pengetahuan, akan menemukan pembenarannya di alam yang
sesungguhnya: alam kerja nyata.
Dalam
sisi kehidupan lain yang lebih berdimensi sosial, kecerobohan dan sikap
’sok tahu’ bisa membunuh tidak saja satu orang yang luka kepalanya.
Seperti sebuah definisi yang salah tentang terorisme, dari orang-orang
kerdil dan sok tahu, misalnya, telah membunuh ribuan orang diberbagai
belahan dunia, serta mengebiri jutaan lainnya. Sementara, di tempat yang
lain, orang harus berjibaku dengan nasibnya yang gelap, akibat ulah
orang-orang hidup dengan pengetahuan dan keahlian yang ‘ala kadarnya’.
Di
tempat lain, sikap sok tahu mendapatkan ramuan penghancur terhebatnya,
ketika ia bertemu dengan kekuasaan. Maka penguasa-penguasa yang bodoh,
dalam level kekuasaan sekecil apapun akan cenderung otoriter dan ’sok
tahu’. Karena itu merupakan cara utama untuk menutupi kedunguannya.
Dalam
konteks keimanan, bila Allah mengaitkan kapasitas pengetahuan dan ilmu
seseorang dengan kemampuan untuk takut kepada-Nya, maka sudah barang
tentu kebalikannya, orang-orang yang bodoh dan miskin pengetahuan,
berpeluang besar melakukan dosa dan maksiat kepada-Nya. Terlebih bila
mereka bersikap pura-pura tahu atau merasa tahu.
Ibnu
Qoyyim berkata, "Dosa itu dipagari oleh dua kebodohan. Bodoh terhadap
hakikat sebab-sebab yang bisa memalingkannya, dan bodoh akan hakikat
kerusakan yang diakibatkannya. Dari tiap kebodohan itu di bawahnya
terdapat kebodohan-kebodohan yang banyak. Maka, Allah tidak dimaksiati
kecuali dengan kebodohan dan tidak ditaati kecuali dengan ilmu."
Tidaklah
aib berkata tidak tahu. Suatu hari, Masruq dan beberapa orang lainnya
masuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud. Kepada mereka Abdullah bin Mas’ud
berkata, "Wahai umat manusia, Sesiapa yang mengetahui tentang suatu
perkara, hendaklah ia menerangkannya. Dan sesiapa yang tidak
mengetahuinya maka hendaklah dia berkata, ‘Allah lebih mengetahui.’
Kerana berkata demikian itu (Allah lebih mengetahui) tentang sesuatu
perkara yang tidak diketahui adalah termasuk dari ilmu."
Orang-orang
yang ’sok tahu’ tidak akan sama dengan orang-orang yang tidak tahu,
meski keduanya sama sama tidak tahu. Perbedaan utamanya seringkali
terletak pada bencana yang diakibatkannya. Hidup memang makin
membutuhkan keahlian spesial. Tetapi jujur atas ketidaktahuan adalah
pelengkap yang harus diambil dari segala keahlian. Tidaklah aib berkata
tidak tahu. Ini bukan sekadar sudut pandang moral, tapi juga bagian
penting dari menjauhi bencana dan menghindari malapetaka. Agar tidak ada
orang yang mati begitu saja, hanya karena ulah orang-orang yang ’sok
tahu’. Agar juga tak ada yang terlunta-lunta dalam sengsara, karena
kecerobohan orang-orang yang tak mengerti apa-apa tapi merasa tahu
segala-galanya.
Janganlah
kita malu mengatakan terus terang , “saya tidak tahu“, terhadap apa
yang tidak kita ketahui. Dan janganlah kita memaksa untuk berbicara
tentang hal yang tidak kita ketahui.